TRANSAKSI E-COMMERCE DALAM TINJAUAN HUKUM JUAL BELI ISLAM
Azhar Muttaqin
1. PENDAHULUAN
Salah satu fenomena mu'amalah dalam bidang ekonomi saat ini
adalah transaksi jual beli yang menggunakan media elektronik. Aktivitas
perdagangan melalui media internet ini populer disebut dengan electronic commerce (e-commerce). E-commerce
tersebut terbagi atas dua segmen yaitu business
to business ecommerce (perdagangan antar pelaku usaha) dan business to consumer ecommerce. (perdagangan
antar pelaku usaha dengan konsumen).
Salah seorang pakar internet Indonesia, Budi Raharjo,
menilai bahwa Indonesia memiliki potensi dan prospek yang cukup menjanjikan
untuk pengembangan e-commerce.
Berbagai kendala yang dihadapi dalam
pengembangan e-commerce ini seperti
keterbatasan infrastruktur, ketiadaan undangundang, jaminan keamanan transaksi
dan terutama sumber daya manusia bisa diupayakan sekaligus dengan upaya
pengembangan pranata e-commerce itu. Bahkan saat ini, seiring dengan
bermunculannya beberapa situs jejaring sosial yang banyak diminati masyarakat
seperti facebook, twiter dan lain-lain, ternyata diikuti juga dengan
menjamurnya transaksi barang melalui media tersebut.
Dalam bidang hukum misalnya, hingga saat ini Indonesia belum
memiliki perangkat hukum yang mengakomodasi perkembangan ecommerce. Padahal pranata hukum merupakan salah satu ornamen utama
dalam bisnis. Dengan tiadanya regulasi khusus yang mengatur mengatur perjanjian
virtual, maka secara otomatis perjanjian-perjanjian di internet tersebut akan
diatur oleh hukum perjanjian non elektronik yang berlaku. Hukum perjanjian
Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak berdasarkan pasal 1338 KUHPerd.
Asas ini memberi kebebasan kepada para pihak yang sepakat untuk membentuk suatu
perjanjian untuk menentukan sendiri bentuk serta isi suatu perjanjian. Dengan
demikian para pihak yang membuat perjanjian dapat mengatur sendiri hubungan
hukum diantara mereka.
Sebagaimana dalam konsep perdagangan, e-commerce menimbulkan perikatan antara para pihak untuk memberikan
suatu prestasi. Implikasi dari perikatan itu adalah timbulnya hak dan kewajiban
yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat. Di dalam hukum perikatan
Indonesia dikenal apa yang disebut ketentuan hukum pelengkap. Ketentuan
tersebut tersedia untuk dipergunakan oleh para pihak yang membuat perjanjian
apabila ternyata perjanjian yang dibuat mengenai sesuatu hal ternyata kurang
lengkap atau belum mengatur sesutu hal. Ketentuan hukum pelengkap itu terdiri
dari ketentuan umum dan ketentuan khusus untuk jenis perjanjian tertentu.
2. PEMBAHASAN
Sudah difahami bahwa kedua jenis konsep ini adalah hasil
pemikiran dan praktek jual beli yang terpaut oleh zaman serta kondisi sosial
budaya yang berbeda. Bisa dikatakan Bai’ assalâm merupakan hasil pemikiran para
pakar hukum Islam yang terpusat di Timur Tengah. Sedangkan e-commerce adalah
produk barat yang terbentuk seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi.
Agar bisa merumuskan deskripsi yang tepat tentang korelasi
transaksi e-commerce dengan bai’ as-salâm, maka perlu diuraikan terlebih dahulu
identitas spesifik yang mencirikan kedua transaksi berikut :
A. Transaksi e-commerce
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-undang Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), disebutkan bahwa transaksi
elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer,
jaringan komputer atau media elektronik lainnya. Transaksi jual beli secara elektronik
merupakan salah satu perwujudan ketentuan di atas.
Transaksi jual beli secara elektronik, sama halnya dengan
transaksi jual beli biasa yang dilakukan di dunia nyata, dilakukan oleh para
pihak yang terkait, walaupun dalam jual beli secara elektronik ini
pihak-pihaknya tidak bertemu secara langsung satu sama lain, tetapi berhubungan
melalui internet. Dalam transaksi jual
beli secara elektronik, pihak-pihak yang terkait antara lain (Makarim, 2000:65)
:
1.
Penjual atau merchant
atau pengusaha yang menawarkan sebuah produk melalui internet sebagai pelaku
usaha;
2.
Pembeli atau konsumen yaitu setiap orang yang tidak
dilarang oleh undang-undang, melakukan transaksi jual beli produk yang
ditawarkan oleh penjual/pelaku usaha/merchant.
3.
Bank sebagai pihak penyalur dana dari pembeli atau
konsumen kepada penjual atau pelaku
usaha/merchant.
4.
Provider
sebagai penyedia jasa layanan akses internet.
Pada dasarnya pihak-pihak dalam jual beli secara elektronik
tersebut diatas, masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Penjual/pelaku
usaha/merchant merupakan pihak yang menawarkan produk melalui internet, oleh
karena itu, seorang penjual wajib memberikan informasi secara benar dan jujur atas produk yang
ditawarkannya kepada pembeli atau konsumen.
Disamping itu, penjual juga harus menawarkan produk yang diperkenankan
oleh undang-undang, maksudnya barang yang ditawarkan tersebut bukan barang yang
bertentangan dengan peraturan perundangundangan, tidak rusak ataupun mengandung
cacat tersembunyi, sehingga barang yang ditawarkan adalah barang yang layak
untuk diperjualbelikan. Dengan demikian
transaksi jual beli termaksud tidak menimbulkan kerugian bagi siapapun yang
menjadi pembelinya. Di sisi lain,
seorang penjual atau pelaku usaha memiliki hak untuk mendapatkan pembayaran
dari pembeli/konsumen atas harga barang yang dijualnya, juga berhak untuk
mendapatkan perlindungan atas tindakan pembeli/konsumen yang beritikad tidak
baik dalam melaksanakan transaksi jual beli secara elektronik ini.
Seorang pembeli/ konsumen memiliki kewajiban untuk membayar
harga barang yang telah dibelinya dari penjual sesuai jenis barang dan harga
yang telah disepakati antara penjual dengan pembeli tersebut. Selain itu, pembeli juga wajib mengisi data
identitas diri yang sebenar-benarnya dalam formulir penerimaan. Di sisi lain, pembeli/konsumen berhak mendapatkan
informasi secara lengkap atas barang yang akan dibelinya dari seorang penjual,
sehingga pembeli tidak dirugikan atas produk yang telah dibelinya itu. Pembeli juga berhak mendapatkan perlindungan
hukum atas perbuatan penjual/pelaku usaha yang beritikad tidak baik.
Bank sebagai perantara dalam transaksi jual beli secara
elektronik, berfungsi sebagai penyalur dana atas pembayaran suatu produk dari
pembeli kepada penjual produk itu, karena mungkin saja pembeli/konsumen yang
berkeinginan membeli produk dari penjual melalui internet berada di lokasi yang
letaknya saling berjauhan sehingga pembeli termaksud harus menggunakan
fasilitas bank untuk melakukan pembayaran atas harga produk yang telah
dibelinya dari penjual, misalnya dengan proses pentransferan dari rekening
pembeli kepada rekening penjual (acount
to acount).
Provider merupakan
pihak lain dalam transaksi jual beli secara elektronik, dalam hal ini provider memiliki kewajiban untuk
menyediakan layanan akses 24 jam kepada calon pembeli untuk dapat melakukan
transaksi jual beli secara elektronik melalui media internet dengan penjual
yang menawarkan produk lewat internet tersebut, dalam hal ini terdapat
kerjasama antara penjual/pelaku usaha dengan provider dalam menjalankan usaha melalui internet ini.
B. Transaksi Bai’ as-salâm
Menurut al-Bahuti
dalam Haris Faulidi (2004:92) as-salam
atau disebut juga as-salaf merupakan
istilah dalam bahasa Arab yang mengandung makna penyerahan. Lebih lanjut ia
mendefinisikan as-salam sebagai
transaksi atas sesuatu yang masih berada dalam tanggungan dengan
kriteria-kriteria tertentu dan diserahkan kemudian dengan pembayaran harga di
tempat kontrak. Atau secara lebih ringkas disebutkan jual beli yang
ditangguhkan dengan harga disegerakan.
Dari berbagai perbedaan definisi yang disebutkan nampak ada
beberapa poin yang disepakati. Pertama, disebutkan bahwa as-salam merupakan suatu transaksi dan sebagian menyebutnya sebagai
transaksi jual beli. Kedua, adanya keharusan menyebutkan kriteria-kriteria
untuk sesuatu yang dijadikan obyek transaksi / al-muslam fîh. Ketiga, obyek transaksi / almuslam fîh harus berada dalam tanggungan.
Transaksi as-salam
boleh sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dan berlandaskan atas dasar, bahwa:
a.
Di dalam transaksi as-salam
terdapat unsur yang sejalan dengan upaya merealisasikan kemaslahatan
perekonomian (mashlahah al-iqtishâdiyyah).
b.
Transaksi as-salam
merupakan rukhsah (suatu dispensasi
atau sesuatu yang meringankan) bagi manusia.
c.
Transaksi as-salam
memberikan kemudahan kepada manusia.
Transaksi as-salam
merupakan bagian dari transaksi jual beli biasa. Hanya saja dalam transaksi as-salam terdapat persyaratan tambahan
yang menentukan validitas transaksi tersebut. Karena dalam transaksi as-salam produk yang dijadikan obyek
transaksi tidak ada / tidak dapat dihadirkan pada saat transaksi terjadi.
Penjual, dalam hal ini, hanya menyebutkan kriteria-kriteria tertentu pada
produk yang akan dijual.
Seperti halnya jual beli biasa, transaksi assalam memiliki unsur-unsur yang harus
ada dan saling berhubungan ketika terjadinya suatu transaksi jual beli.
Unsur-unsur yang dimaksudkan merupakan tiga unsur rukun – termasuk pihak-pihak
yang terlibat – dalam transaksi as-salam,
yaitu pertama tentang sighat transaksi,
kedua tentang pelaku transaksi, dan ketiga tentang obyek transaksi.
Ketiga unsur tersebut harus ada untuk terjadinya transaksi (as-salam). Tidak mungkin dapat
dibayangkan terciptanya suatu transaksi apabila tidak ada orang yang melakukan
transaksi. Tetapi adanya orang yang bertransaksi belum dengan sendirinya
melahirkan transaksi, karena untuk terciptanya transaksi harus ada kehendak
untuk melahirkan akibat hukum tertentu dari masing-masing pihak dan agar
kehendak itu dapat diketahui oleh pihak lain sehingga bisa diberi persetujuan
(kesepakatan) ia harus dinyatakan. Pernyataan kehendak masing-masing pihak yang
bersepakat itu merupakan unsur yang membentuk transaksi dan dalam istilah fiqh
disebut sighat transaksi. Selanjutnya
harus ada sesuatu yang mengenai persetujuan dan kata sepakat itu diberikan,
yaitu yang disebut obyek transaksi.
Masing-masing unsur yang membentuk transaksi di atas
memerlukan ketentuanketentuan agar terbentuknya transaksi itu menjadi sempurna.
Dalam istilah fiqh ketentuan-ketentuan dimaksud disebut syaratsyarat
terbentuknya transaksi (as-salam).
C. Korelasi E-commerce
dan Bai’ as-salâm
Berdasarkan hirarki sejarahnya, ecommerce memang merupakan model transaksi baru yang ada sesudah
transaksi bai’ as-salam. E-Commerce
ada sebagai akibat pesatnya perkembangan teknologi informasi abad 21 ini.
Secara normatif yuridis pun bai’ as-salam
bersumber dari praktek jual beli yang dicontohkan oleh generasi awal Islam dan
menjadi landasan salah satu praktek fiqih jual beli yang terlegitimasi selama
berabad-abad oleh umat Islam. Karena pengakuan jumhur fuqaha itulah maka
transaksi as-Salam menjadi standar
tolak ukur yang cukup baku untuk mengevaluasi transaksi sejenisnya yang muncul
belakangan.
Memang bai’ as-Salam
merupakan produk hukum fiqh Islam yang dirumuskan oleh para ulama dengan segala
kemungkinannya untuk mengalami reaktualisasi dari masa ke masa agar senantiasa
sesuai dengan tuntutan tempat dan waktu. Namun sebagaimana produk fiqh lainnya,
hukum ini digali dengan menggunakan metodologi ijtihad dari dua sumber utama (mashâdirul ahkâm) hukum Islam; yaitu
al-Qur’an dan as-Sunnah. Oleh karana hal itulah, bai’ as-Salam pada penelitian ini menjadi sebuah model transaksi
klasik hukum Islam yang akan menjadi pembanding dan penganalisa transaksi e-commerce.
Secara garis besar, antara e-commerce dengan bai’
as-salam memiliki persamaan dan perbedaan yang sangat mendasar. Berdasarkan
uraian di atas, paling tidak ada beberapa hal yang peneliti dapat rumuskan
terkait dengan hal tersebut;
Baik bai’ as-salam
maupun e-commerce sama-sama merupakan
aktivitas jual beli. Maka seperti halnya transaksi jual beli, disyaratkan paling
tidak ada 4 hal yang harus terpenuhi; yaitu pembeli, penjual, alat tukar
(uang), dan barang yang diperjualbelikan atau obyek transaksi. Hanya saja, pada
transaksi ecommerce maupun bai’ as-salam obyek transaksi
ditangguhkan penyerahannya walaupun telah terjadi kesepakatan jual beli antara
penjual dan pembeli. Setidaknya ini lah persamaan mendasar antara e-commerce dan bai’ as-salam.
Adapun beberapa perbedaan spesifik ditemukan juga dalam di
antara kedua konsep tersebut , khusunya dalah hal model penawaran, pembayaran,
serta pengiriman dan penerimaan. Perbedaan ini tidak secara otomatis menyatakan
bahwa e-commerce tidak sah. Kecuali
nyata pertentangannya dengan prinsip dan nilai ajaran Islam di bidang
mu’amalah, yaitu mengandung unsur maisir
(judi/gambling), gharar (penipuan), riba
dan produk atau jasa yang ditawarkan adalah termasuk yang diharamkan oleh
ajaran Islam.
3. Dasar hukum
Sudah barang tentu dasar hukum kedua
model ini berbeda. Bai’ as-Salam
didasarkan kepada al-Qur’an dan al-Hadits serta hasil ijtihad ulama-ulama
salaf. Dan Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, paling tidak diwujudkannya bai’ as-salam karena hal-hal berikut :
a.
Di dalam transaksi as-salam
terdapat unsur yang sejalan dengan upaya merealisasikan kemaslahatan
perekonomian (mashlahah aliqtishâdiyyah).
b.
Transaksi as-salam
merupakan rukhsah (suatu dispensasi
atau sesuatu yang meringankan) bagi manusia.
c.
Transaksi as-salam
memberikan kemudahan kepada manusia.
Sebagaimana konsep perekonomian global saat ini,
dimana e-commerce merupakan salah
satu buah perwujudannya, maka pelaksanaannya didasarkan pada aturan yang
berlaku pada setiap negara tempat terjadinya transaksi. Sebagai contoh, jika
transaksi terjadi di Indonesia, maka aturan yang berlaku di Indonesialah yang
menjadi dasar hukumnya. Adapun landasan etis filosofisnya tergantung dari
standar nilai apa yang dijadikan dasar bagi masing-masing pelaksananya. Jika
dia seorang muslim, maka tentu yang harus dijadikan standar nilainya adalah
al-Qur’an dan as-Sunnah.
4. Penawaran / akad
transaksi
Jauh berbeda dengan e-commerce,
bai’ assalam merupakan model
transaksi yang landasan aplikasinya adalah fiqih mu’amalah dalam bidang jual
beli. Untuk penawaran, bai’ as-salam
mensyaratkan adanya sighat ijab qabul
antara penjual dan pembeli dengan akad menangguhkan penyerahan al-muslam fîh / obyek transaksi.
Pernyataan ijab
dan qabul dapat dilakukan dengan cara
lisan, tulisan/surat-menyurat, atau isyarat yang memberi pengertian dengan
jelas tentang adanya ijab dan qabul, dan dapat juga berupa perbuatan yang telah
menjadi kebiasaan dalam ijab dan qabul, hal itu sebagaimana pendapat-pendapat
dari para ulama seperti alGhazali dalam an-Nawawi dan imam al-Kasani (Basyir,
2000:68). Maka dengan memperhatikan hal tersebut, transaksi as-salam dapat dilakukan dengan segala
macam pernyataan yang dapat dipahami maksudnya oleh kedua belah pihak yang
melakukan transaksi, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, isyarat maupun dalam
bentuk tulisan.
Adapun e-commerce,
penawaran dilakukan oleh penjual atau pelaku usaha melalui website pada internet. Penjual atau pelaku usaha menyediakan storefront yang berisi katalog produk
dan pelayanan yang akan diberikan.
Masyarakat yang memasuki website pelaku
usaha tersebut dapat melihat-lihat
barang yang ditawarkan oleh penjual.
Sebagaimana di atas, penawaran dalam sebuah website biasanya menampilkan
barangbarang yang ditawarkan, harga, nilai rating atau poll otomatis tentang barang yang diisi oleh pembeli sebelumnya,
spesifikasi barang termaksud dan menu produk lain yang berhubungan. e-commerce terjadinya penawaran apabila seseorang menggunakan media
internet untuk berkomunikasi baik via email
atau chating untuk memesan barang
yang diinginkan.
Pada as-Salam kriteria barang (al-muslam fîh) ini juga merupakan hal yang paling urgen dan harus
jelas pada saat penawaran. Sesuatu yang tidak dapat diidentifikasi
kriteriakriterianya tidak boleh dijadikan al-muslam
fîh karena hal tersebut, menurut al-Bahuti, dapat membawa kepada
perselisihan di antara pihakpihak yang bertransaksi.
Apa yang dilakukan oleh e-commerce di era modern seperti sekarang untuk menambah
kejelasan spesifikasi pengetahuan tentang macam komoditi tersebut karena dapat
menghadirkan bentuk visualnya.
Namun demikian, berbeda dengan asSalam yang mensyaratkan adanya pertemuan langsung untuk melakukan
akad, e-commerce tidak mengharuskan
hal itu, bahkan cenderung mengunakan pihak ketiga yaitu provider internet dalam mengkomunikasikan kepentingan kedua belah
pihak (penjual dan pembeli).
5. Obyek akad
Dalam prinsip jual beli dalam Islam, obyek akad sudah sangat
jelas dan tegas tidak boleh mengandung unsur yang diharamkan oleh Allah SWT.
Jika itu terjadi, maka secara otomatis transaksi itu batal demi hukum.
Sedangkan pada e-commerce, obyek
transaksi sangat beragam. Boleh tidaknya obyek transaksi sangat tergantung
aturan negara di mana transaksi itu dilakukan. Di Indonesia setiap penjual juga
harus menawarkan produk yang diperkenankan oleh undang-undang, tidak rusak
ataupun mengandung cacat tersembunyi, sehingga barang yang ditawarkan adalah
barang yang layak untuk diperjualbelikan. Seperti jual beli narkoba,
benda-benda suaka, dan lain-lain. Tidak semua produk yang diperbolehkan
diperjualbelikan menurut aturan negara, juga diperbolehkan oleh Islam.
Contohnya jual beli minuman keras. Negara masih memperbolehkan walaupun dengan
syarat-syarat tertentu, sedangkan Islam secara tegas melarang dengan tanpa syarat
apapun. Di sinilah salah satu perbedaan obyek akad antara e-commerce dan bai’ as-salam.
5. Pembayaran
Setelah terjadinya akad jual beli, maka pembayaran /
penyerahan ra`s al-mâl dalam
transaksi as-salam hendaklah
disegerakan. Para ulama dari mazhab Maliki membatasinya tidak lebih dari tiga
hari, jika tidak, maka transaksi menjadi batal. Alasan tiga hari itu didasarkan
pada kaidah
(sesuatu
yang mendekati itu dihukumkan sama).”
Penyegeraan ini untuk memudahkan identifikasi serta menghindari ketidakjelasan
agar jangan sampai terjadi perselisihan di kemudian hari. Pendapat ini nyata
manfaatnya saat ini, dimana harga setiap waktu mengalami fluktuasi yang tidak
terduga, penundaan pembayaran setelah akad bisa merugikan kedua belah pihak
tergantung siapa yang menanggung beban kerugian ketika harga itu naik atau
turun.
Lebih simple, karena cara pembayaran saat ini sudah serba
canggih, maka pada ecommerce mengenal
tidak hnya pembayaran langsung tetapi juga tidak langsung. Dengan tetap mengacu
pada sistem keuangan negara tempat dilaksanakannya e-commerce, Edmon (2000:90) mengklasifikasikan cara pembayaran
e-commerece sebagai berikut :
•
Transaksi model ATM, sebagai transaksi yang
hanya melibatkan institusi finansial dan
pemegang account yang akan melakukan
pengambilan atau mendeposit uangnya dari account
masing-masing;
•
Pembayaran dua pihak tanpa perantara, yang dapat
dilakukan langsung antara kedua pihak tanpa perantara dengan menggunakan uang
nasionalnya;
•
Pembayaran dengan perantaraan pihak ketiga,
umumnya merupakan proses pembayaran yang menyangkut debet, kredit ataupun cek
masuk. Metode pembayaran yang dapat digunakan antara lain : sistem pembayaran
memalui kartu kredit on line serta
sistem pembayaran check in line.
Apabila kedudukan penjual dengan pembeli berbeda, maka pembayaran dapat
dilakukan melalui cara account to account
atau pengalihan dari rekening pembeli kepada rekening penjual. Berdasarkan kemajuan teknologi, pembayaran
dapat dilakukan melaui kartu kredit dengan cara memasukkan nomor kartu kredit
pada formulir yang disediakan oleh penjual dalam penawarannya. Pembayaran dalam
transaksi jual beli secara elektronik ini sulit untuk dilakukan secara
langsung, karena adanya perbedaan lokasi antara penjual dengan pembeli, walaupun
dimungkinkan untuk dilakukan.
Selain perbedaan cara pembayaran tadi, pada e-commerce juga
tidak mengenal penangguhan pembayaran setelah terjadinya akad menjadi hal
penting yang memicu pada pembatalan transaksi. Biasanya, akad terjadi apabila
setelah terjadi komunikasi tawar menawar secara online dan setelah sepakat penawar membayarkan sejumlah uang
melalui pihak ketiga, dalam hal ini adalah bank. Dan setelah penjual
mendapatkan keyakinan pembayaran yang dibuktikan dengan surat bukti pembayaran
dan checkin acount, maka proses
selanjutnya baru berlaku, yaitu pengiriman barang.
Untuk hal di atas, e-commerce
memang sangat berbeda dengan as-Salam yang bahkan mensyaratkan pembayaran secara
langsung di tempat kontrak tanpa pihak ketiga -setidaknya ini menurut pendapat
klasik kalangan mazhab Maliki-. Tentu dapat dipahami yang terakhir ini
konteksnya karena keterbatasan model pembayaran saat itu.
6.Pengiriman dan
penerimaan
Pada e-commerce
dikenal istilah pengiriman barang. Hal itu terjadi karena biasanya antara
penjual dan pembeli tidak tinggal berdekatan, bahkan bisa sangat jauh terpisah
kota, daerah bahkan negara. Pengiriman ini dilakukan setelah pembayaran atas
barang yang ditawarkan oleh penjual kepada pembeli, dalam hal ini pembeli
berhak atas penerimaan barang termaksud. Pada kenyataannya, barang yang
dijadikan objek perjanjian dikirimkan oleh penjual kepada pembeli dengan biaya
pengiriman sebagaimana telah diperjanjikan antara penjual dan pembeli.
Waktu yang digunakan untuk pengiriman tergantung jarak, lama
tempuh atau kebijakan pihak ketiga sebagai pengirim. Apabila terjadi kerusakan
barang pada saat pengiriman, biasanya menjadi tanggung jawab pengirim atau
penjual.
Pada bai’ as-salam
memang tidak dibahas tentang pengiriman barang. Tetapi tempat penyerahan barang
dan lama masa penyerahan atau masa tangguh. Para ulama sebagaimana dijelaskan
sebelumnya berbeda pendapat tentang masa tangguh (al-ajl), mulai dari yang paling cepat yaitu satu jam (Ibnu Hazm),
dua hari (Malik), lima belas hari (Ibnu al-qasim) dan yang paling lama satu
bulan (Muhammad
(seorang ahli fiqh dari mazhab
Hanafi)). Karena tidak ada disebutkan batasan pasti untuk pengangguhan (al-ajl), berarti diberikan kebebasan bagi
kedua belah pihak yang bertransksi untuk dapat mengatur tenggang waktu menurut
situasi dan kondisi serta kesepakatan dari keduanya. Yang penting dalam hal ini
adalah adanya kejelasan tentang penangguhan (al-ajl) bagi kedua belah pihak agar kekhawatiran akan timbulnya
perselisihan di kemudian hari dapat dihindari.
Adapun tempat serah terima barang, sebagaimana pendapat
ulama sebelumnya, tidak ada tempat khusus yang ditetapkan, karena Rasulullah
juga tidak menekankan hal tersebut.
Selama tempat teresebut disepakati
oleh kedua belah pihak dan cukup refresentatif serta bisa terjangkau oleh
keduanya maka bisa menjadi tempat serah terima barang.
Secara umum berdasarkan penjelasan di atas, tidaklah
perbedaan e-commerce dan assalam hanya karena keduanya merupakan konsep
transaksi jual beli beda zaman dan beda konteks, tetapi memang ada beberapa
hal-hal prinsipil yang harus diperhatikan untuk dihindari bagi para pelaku
e-commerce muslim saat ini.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Beberapa hal yang dapat disimpulkan
pada penelitian ini antara lain :
1.
Akibat perkembangan teknologi informasi saat ini,
ternyata jual beli tidak hanya dapat dilakukan secara konvensional, dimana
antara penjual dengan pembeli saling betemu secara langsung, namun dapat juga
hanya melalui media internet. Orang yang saling berjauhan atau berada pada
lokasi yang berbeda tetap dapat melakukan transaksi jual beli tanpa harus
bersusah payah untuk saling bertemu secara langsung. Hal ini tentu mampu meningkatkan efektifitas dan efisiensi waktu
serta biaya baik bagi pihak penjual maupun pembeli.
2.
E-commerce secara
esensial merupakan praktek jual beli yang memiliki kesamaan fundamental dengan bai’ as-salam, yaitu adanya penangguhan
penyerahan barang setelah terjadi akad jual beli antara penjual dan pembeli.
3.
Adapaun perbedaan fundamental antara keduanya adalah
dasar hukum yang mempengaruhi dibolehkan atau tidaknya transaksi dilakukan,
seperti jenis komoditas dan pelaku transaksi. Karena yang menjadi dasar hukum e-commerce adalah aturan negara dimana
transaksi itu dilakukan, maka bisa jadi ditemukan adanya pembolehan transaksi
terhadap komoditas yang dilarang oleh agama. Demikian juga pelaku tidak ada
batasan baligh atau tidak, pada e-commerce
yang penting baik penjual maupun pembeli memiliki alat, modal dan sarana
lainnya untuk bertransaksi.
4.
Adapun perbedaan lainnya seperti cara penawaran, cara memperjelas obyek
transaksi, tehnis pembayaran, cara pengiriman dan penerimaan, bukanlah
perbedaan fundamental, tetapi lebih karena perbedaan zaman yang berpengaruh
pada perbedaan tehnis pelaksanaan saja. Seperti dulu pembayaran secara tunai
dan langsung, tapi sekarang menggunakan jasa orang ketiga, dalam hal ini adalah
Bank.
Saran
Paling tidak ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh
pelaku e-commerce muslim saat ini, antara lain :
a. Bagi
pengusaha muslim harus bersikap jujur. Kejujuran dan kebenaran merupakan nilai
yang penting. Berkaitan dengan ini, bentuk penipuan, sikap eksploitasi, membuat
pernyataan palsu adalah dilarang. Sebagai agama yang mengatur tingkah laku umat
manusia untuk menjadi lebih baik dalam berusaha, dalam Islam tidak dibolehkan
orang hanya meminta dilayani secara baik dan benar dengan berdasarkan prinsip
kejujuran dan keadilan, akan tetapi ketika ia akan melayani orang lain, sudah
seharusnya ia pula memberikan pelayanan yang terbaik, jika tidak dari segi
sosial dan hukum ia akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan
tersebut.
b. Di
samping itu, yang paling ditekankan dari dua pihak yang bertransaksi adalah
harus memiliki keinginan untuk bertindak sendiri bukan atas paksaan orang lain
atau bukan dalam tekanan dari pihak lainnya, yaitu harus adanya unsur kerelaan
dari kedua belah pihak yang bertransaksi.
c. Mengidentifikasi
obyek transaksi (muslam fîh) sebagai
komoditas yang tidak diharamkan oleh agama.
d. Memperjelas
komoditas yang ditawarkan dengan tanpa adanya unsur gharar
(penipuan) yang dapat merugikan pembeli.
e. Meninggalkan
unsur riba berupa perbedaan biaya
yang harus dibayar oleh pembeli pada saat penyerahan barang setelah terjadi
kesepakatan sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Azhar
Basyir, (2000), Asas-asas Hukum Muamalat (hukum, Perdata
Islam).
Yogyakarta: UII
Press.
Al Azis,
Moh. Saifulloh, (1998), Fiqih Islam
lengkap. Surabaya:Terbit terang.
Al-Bûthî,
Muhammad Taufiq Ramadân, (1989), Al-Buyû
asy-Syâ’i’ah, cet. 1, Dar al-Fikri, Beirut.
Al-Muslih, Abdullah. (1997), Jual Beli dan
Hukum-Hukumnya. Jakarta : Sinar
Grafika.
Al-Qurthubi. (1372H). Al-Jâmi, li ahkâm alQur'an, cet. 2.
Kairo : Dâr asy-Syâb. An-Nawawi. (1405H). Raudhah
at-Thâlibīn, cet. 2. Beirut : Al-Maktab al-Islâmi.
Anshari, Abdul Ghafur. (2007). Asuransi
Syari'ah Di Indonesia, Regulasi Dan
Operasionalisasinya Di Dalam Kerangka Hukum Positif di Indonesia.Yogyakarta
: UII Press.
Asnawi,
Haris Faulidi. (2004). Transaksi Bisnis
E-commerce Perspektif Islam. Yogyakarta : Magistra Insani.
Asy-Syafi'i,
Imtihan, Prinsip-Prinsip Mu'âmalah,
http://an-nuur.org, diakses tgl. 28 Juli 2009.
Barkatullah,
Abdul Halim. (2006). Hukum Islam,
Menjawab Tantangan Zaman Yang Terus Bekembang, Cet. I. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Behesti,
Muhammad, 1992, Ownership in Islam
(Kepemilikan dalam Islam), Pustaka
Hidayah,
Jakarta.
Djamil,
Fathurrahman. (1997). Filsafat Hukum
Islam, cet. I. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Faisal,
Sanapiah. (20050. Fomat-Format Penelitian.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Faulidi,
Haris. (2004). Transaksi Bisnis Ecommerce.
Yogyakarta : Magistra
Insani.
Hasbi. (1993). Falsafat Hukum Islam, cet. IV.
Jakarta: Bulan
Bintang.
Makarim,
Edmon. (2000), Kompilasi Hukum Telematika.
Jakarta: PT.Gravindo Persada.
Mushofa,
Mahin. (2005). Pelatihan Aplikasi
Internet Terpadu. Malang : UMM Pres.
Pasaribu, Choiruman, 1994. Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta
:Sinar Grafika Sabiq, Sayyid. (2001).
Fiqh as-Sunnah. Bandung : Al-Ma’arif.
Shihab, M.
Quraish. (2002), Tafsir al-Misbah.
Jakarta : Lentera Hati.
Sulaiman
Rasjid. (2002). Fiqih Islam. Bandung
: Sinar Baru Algesindo.
Undang-undang
tentang Ketentuan Umum, UU No. 11 Tahun 2008.
Nama Kelompok : 1. M. Arif Darmawan
2. Rico Putra
3. Rahmad Hadiyanto
4. Yodawan Syaputra
Comments
Post a Comment